Perempuan
Indonesia merupakan sumber daya manusia yang mempunyai potensi dalam menentukan
arah keberhasilan suatu pembangunan. Upaya pengembangan sumberdaya tersebut
dapat dilakukan dengan cara membuka dan memberi kesempatan yang luas bagi
perempuan Indonesia untuk berperan dalam pembangunan, melalui berbagai cara
yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki olehnya.
Ini bisa
dilihat dari landasan konstitusional yang dapat dijadikan dasar untuk
pengembangan sumber daya manusia (SDM) yakni dalam Pancasila dan UUD 1945 pasal
27 ayat satu dan dua, serta Tap MPR no.II tahun 1993. Pada intinya keseluruhan
landasan konstitusional tersebut menyebutkan setiap warga negara (laki-laki dan
atau perempuan) secara bersama mempunyai peran (hak) dan tanggung jawab dalam
kegiatan pembangunan dengan cara melakukan pemberdayaan diri disegala bidang
kehidupan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Salah satu
bentuk realisasi landasan konstitusional di atas adalah dengan dibukanya
kesempatan yang lebih luas bagi perempuan Indonesia untuk dapat menuntut ilmu
yang lebih tinggi dan memperoleh kesempatan kerja sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki oleh perempuan tersebut tanpa harus membedakan “lahan pengembangan”
untuk laki-laki atau perempuan.
Berkenaan
dengan hal diatas menurut Caroline Mosser (1989) dalam Julia Mosse
(1996) mengatakan bahwa perempuan merupakan partisipasi aktif dalam proses
pembangunan, yang melalui peranannya baik secara produktif maupun reproduktif
memberikan sumbangan penting terhadap pertumbuhan ekonomi. Tingginya tingkat
keterlibatan perempuan dan peranannya dalam masyarakat untuk saat ini
disebabkan oleh terjadinya pergeseran paradigma pembangunan dari “pusat
produksi” menuju kepada “pengembangan sumber daya manusia” (Gunawan,
1993).
Di Indonesia
terdapat 2,5 juta orang yang menjadi pekerja rumah tangga (PRT), dan dari
jumlah tersebut, 90% adalah PRT perempuan (Aida Milasari, 2005). Jumlah
tersebut belum termasuk pekerja perempuan yang melakukan usaha dalam industri
kecil baik sektor formal atau informal yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Besarnya jumlah perempuan yang bekerja tidak hanya membantu kelangsungan hidup
keluarga tetapi juga berperan sangat nyata pada pertumbuhan ekonomi masyarakat
dan negara.
Alasan Bekerja:
Aktualisasi Diri vs Ekonomi Keluarga
Jika dilihat
dari tingginya jumlah perempuan Indonesia yang masuk dalam dunia kerja, ini
menunjukkan perempuan berpeluang untuk dapat berperan secara aktif dalam
pembangunan. Namun tidak demikian adanya, pekerjaan yang dilakukan oleh
perempuan di luar tugas utamanya mengurus rumah tangga oleh masyarakat
cenderung disikapi sebagai jenis pekerjaan sampingan. Perempuan pun
masih dianggap bukan pencari nafkah utama. Apabila ia memperoleh penghasilan
yang memadai, ia tetap berstatus “membantu suami”. Ini dapat dilihat
dalam penelitian yang dilakukan oleh Chamsiah (1996), mengemukakan bahwa
delapan puluh persen responden dari seratus empat puluh tujuh perempuan yang
diberi pernyataan tentang pekerjaannya adalah bantu-bantu suami, mengurus
rumah tangga. Jika ditelususi, arti jawaban responden adalah berdagang
kecil-kecilan, berusaha dalam industri rumah tangga, yang semuanya tergolong
jenis pekerjaan informal.
Sebaliknya
tidak demikian pandangan terhadap perempuan yang bekerja di ranah publik dalam teori
“Pilihan dan Pertukaran”. Teori tersebut menyatakan bahwa seorang ibu rumah
tangga akan mengambil pekerjaan atau minimal mencarinya ketika ia melihat bahwa
pekerjaan tersebut memberikan manfaat yang lebih tinggi dari pada ia tetap
sebagai ibu rumah tangga yang hanya merawat anak dan melaksanakan tugas-tugas
rumah tangga lainnya. Kemungkinan lainnya ia akan keluar dari pekerjaannya atau
tidak bekerja ketika ia menyadari bahwa pilihan melakukan pekerjaan domestik
akan memberikan manfaat yang lebih tinggi daripada ia bekerja di publik (Joice
Katerina Ongge, 2001). Senada dengan teori tersebut, menurut Tonny (1992) dalam
Joice, bahwa rasa tanggungjawab menambah pendapatan keluarga merupakan
pengorbanan bagi ibu rumah tangga yang bekerja. Ini ditunjukkan dari hasil
penelitian bahwa rumah tangga dari lapisan bawah lebih banyak yaitu 64,3% yang
menyatakan bertanggungjawab menambah pendapatan rumah tangga daripada ibu rumah
tangga lapisan menengah (12,5%).
Perempuan
bekerja di sektor informal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
pertama, desakan ekonomi, kedua, lingkungan keluarga yang mendukung perempuan
untuk bekerja atau untuk aktualisasi diri perempuan tersebut, dan ketiga, tidak
didapatkan pekerjaan lain yang sesuai dengan keterampilan di sektor formal.
Perempuan
yang bekerja karena desakan ekonomi, bekerja merupakan “kebutuhan utama”
untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga, terutama bagi rumah tangga yang
tidak memiliki lahan garapan. Bekerja bagi mereka merupakan suatu cara untuk
menghadapi tekanan ekonomi dan juga merupakan wujud kepedulianya terhadap
kelangsungan hidup dapur keluarga. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa
mereka dapat dengan mudah memasuki pekerjaan di sektor-sektor informal sebab
mereka pun harus mampu bersaing dengan laki-laki dalam lapangan pekerjaan.
Keterlibatan
perempuan dalam wilayah publik yang disebabkan oleh kebutuhan perempuan untuk
aktualisasi diri adalah perempuan bekerja yang berhasil mencapai kedudukan
penting dalam dunia kerjanya. Mereka mempunyai “kesempatan” untuk
belajar dari lingkungan keluarganya tentang berbagai hal yang sekiranya dapat
menunjang kariernya. Karier mereka pun didukung oleh suami, dan yang tidak
kalah pentingnya penghasilan suami mereka dapat dikatakan cukup
(Chrysanti, 1996). Demikian alasan mereka bekerja bukan merupakan faktor
ekonomi.
Ketidakmampuan
perempuan dalam bersaing dengan laki-laki menjadikan perempuan hanya dapat
menekuni pekerjaan-pekerjaan rendah, yaitu pekerjaan yang mempunyai upah
rendah, dan atau pekerjaan yang mempunyai tingkat persaingan kecil dengan
laki-laki. Hal ini dikarenakan keterbatasan perempuan sebagai individu (human
capital) dalam hal pendidikan, pengalaman, keterampilan, dan kesempatan
kerja serta faktor ideologis, yaitu jenis pekerjaan yang harus dilakukan
perempuan sangat ditentukan oleh seks, berlawanan dengan laki-laki, pekerjaan
perempuan pun selalu dihubungkan dengan sektor domestik (Ken Surtiyah, 1997).
Dengan demikian nilai tawar yang dimiliki perempuan dalam dunia kerja menjadi
rendah. Kebutuhan kemampuan kerja dan kemampuan yang dimiliki oleh perempuan
menjadi tidak seimbang sebab perempua lemah dalam pengalaman, keterampilan, dan
persaingan dalam pekerjaan. Masalah yang muncul kemudian apakah hasil kerja
dari perempuan yang bekerja karena aktualiasi diri atau faktor ekonomi dianggap
telah mempunyai konstribusi nyata dalam pengembangan ekonomi keluarga?
Disadari
atau tidak tampaknya perempuan terjebak dalam pandangan masyarakat yang
mengatakan bahwa penghasilan kerja perempuan, baik karena alasan ekonomi atau
aktualisasi diri, adalah sekadar tambahan pendapatan keluarga bukan pencari
nafkah utama, akibatnya apa yang dikerjakan perempuan menjadi “tidak
kelihatan”. Mengapa demikian? Pernyataan
dan sikap masyarakat terhadap perempuan yang bekerja bukan tanpa alasan,
artinya pernyataan tersebut lahir karena masih adanya tuntutan terhadap diri
perempuan untuk lebih banyak memberikan perhatian pada urusan rumah tangga.
Padahal andil perempuan dalam ekonomi keluarga tidak sekadar sebagai penunjang
penghasilan pokok keluarga (suami), tetapi –sangat dimungkinkan— menjadi sumber
penghasilan utama yang diandalkan oleh keluarganya. Misalnya, tenaga kerja
wanita yang bekerja di luar negeri, jumlah penghasilan yang mereka terima
setiap bulannya mempunyai jumlah yang lebih besar dari pada jumlah yang didapat
oleh suami mereka yang juga mempunyai jenis pekerjaan rendah. Demikian
perempuan-perempuan yang bekerja kurang mendapat respons dari lingkungannya.
Contoh
tenaga kerja perempuan di atas menunjukkan beberapa kemungkinan yang
menyebabkan jumlah uang yang mereka terima berbeda, yaitu pertama, penetapan
sistem standar penggajian (UMR) yang lebih tinggi, kedua, nilai kurs uang
tinggi, dan ke tiga, standar “harga” yang berbeda atau kemampuan daya
beli. Adanya pandangan “negatif” terhadap perempuan bekerja seperti di
atas diduga merupakan sebab perempuan tidak dapat sepenuhnya berperan aktif
dalam pembangunan.
Adakah agama
melarang perempuan untuk bekerja? Dalam ajaran Islam disebutkan tanggungjawab
nafkah isteri dan keluarga adalah dibebankan pada suami. Suami mempunyai
kewajiban memberikan yang terbaik bagi keluarganya, mengusahakannya dengan
maksimal dan memberikan semua apa yang dimilikinya, hal itu tidak berarti
perempuan tidak wajib bekerja. Ini bisa jelaskan dalam tafsiran Al-Qur’an dalam
surat-surat sebagai berikut: Al-Qur’an surat ath-Thalâq ayat 7: “Hendaklah
orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang-orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya”. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233: “Dan kewajiban
ayah adalah memberikan makanan dan pakaian kepada ibu anaknya dengan cara yang
ma’ruf”. Serta penjelasan Al-Qu’an dalam
surat ath-Thalâq ayat 6: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan jangan kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka...”.
Berkenaan
dengan ayat-ayat di atas, menurut K.H Husein Muhammad (2001) kendati kewajiban
nafkah suami terhadap isteri meliputi pangan (makanan), sandang (pakaian), dan
papan (tempat tinggal), ini bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja di luar
rumah, bahkan menurutnya, untuk kondisi-kondisi tertentu, dia (isteri) justeru
diwajibkan bekerja. Misalnya karena kewajiban menanggung biaya hidupnya sendiri
beserta keluarganya, karena tidak ada lagi orang yang membiayainya atau
menafkahinya.
Pemberdayaan Ekonomi
Keluarga
Rendahnya daya saing perempuan dengan laki-laki karena human capital
perempuan yang rendah memaksa kita untuk berpikir dan melakukan upaya lain yang
sekiranya mampu mengangkat perempuan dari ketidakberdayaannya bersaing dengan
laki-laki pekerjaan. Menurut Mosse (1996), pendekatan yang tepat dalam
melibatkan perempuan untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan adalah dengan
melibatkan seluruh aspek kehidupan perempuan dan seluruh kerja yang dilakukan
perempuan dan menghindari segala sesuatu yang sekiranya akan memandang rendah
perempuan karena pekerjaannya mengurus dan menjaga rumah tangga.
Senada
dengan Mosse, upaya mengangkat perempuan dari ketidak mandirian secara ekonomi
perlu dilakukan pemberdayaan peran perempuan. Untuk itu menurut Aida Vitayala
(2000) perlu dipahami dengan benar tentang hakekat pemberdayaan perempuan yaitu
peningkatan hak, kewajiban, kedudukan, kemampuan, peran, kesempatan,
kemandirian, ketahanan mental, dan spiritual perempuan sebagai bagian tak
terpisahkan dari uapaya peningkatan kualitas SDM. Selanjutnya dikatakan upaya
pemberdayaan peran perempuan perlu mengenali dengan baik akan sasaran
pemberdayaan perempuan. Ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas perempuan
dan menciptakan iklim sosial budaya yang mendukung perempuan untuk
mengembangkan diri dan meningktkan peranannya dalam pembangunan termasuk
seluruh dimensi kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pola pendekatan yang tepat untuk melakukan pemberdayaan perempuan adalah dengan
pola “bottom up”. Pola tersebut dapat digunakan untuk lebih memahami
tujuan pemberdayaan perempuan dalam lingkup kemandirian dan kekuatan internal
yang dimiliki perempuan. Pendekatan tersebut merupakan bagian dari
program-program yang dibuat untuk pengembangan perempuan yang mengarah pada
peningkatan kesadaran akan perbaikan mutu kehidupan dan pendidikan perempuan.
Pendekatan ini hanya akan berhasil jika paradigma atau cara pandang terhadap
perempuan diubah dari paradigma negatif, yaitu pandangan yang mengatakan bahwa
perempuan bukanlah pencari nafkah dalam keluarga dan pekerjaan utamanya adalah
mengurus rumah tangga, menjadi paradigma positif yakni sebagaimana yang
dicita-citakan dalam Al-Qur’an surat ath-Thalâq ayat 6 dan 7, surat Al-Baqarah
ayat 233 dan UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan 2.
Pemberdayaan terhadap perempuan melalui pendekatan antikemiskinan seperti
tersebut di atas, dapat dilakukan dengan memberi perhatian lebih terhadap
perolehan pendapatan bagi perempuan melalui pemberian peluang atau kesempatan
yang sekiranya dapat mendorong perempuan menjadi lebih produktif. Misalnya,
berupa pemberian dukungan dana atau modal dan keterampilan untuk usaha agar
perempuan “miskin” dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.
Pemberdayaan ekonomi keluarga sejahtera adalah salah satu bentuk dari kegiatan
pembangunan sejahtera. Ada beberapa paket program pengentasan kemiskinan,
kurang lebih 31 paket, diluncurkan pada masyarakat yang merupakan realisasi
dari upaya pemberdayaan ekonomi keluarga untuk masyarakat. Namun demikian,
menurut Aida Vitayala (2000), dari sekian banyak program yang diperuntukkan
bagi pemberdayaan ekonomi keluarga hanya dua program yang didesain khusus untuk
perempuan, dan dua program yang mengimplementasikan pendekatan jender, yaitu
pertama, Program Peningkatan Peran Wanita (P2W) dibawah koordinasi Depsos,
kedua, Proyek bantuan Kesehatan yang dikoordinasi Depkes, ketiga, Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), dan keempat, Kredit
Takesra/Kukesra. Pelaksanaan kedua program terakhir dengan mengimplementasikan
pendekatan jender yang dibawah koordinasi langsung BKKN.
Sekilas: Program Pemberdayaan
Berbasis Jender
Seperti
apakah program UPPKS yang diluncurkan oleh pemerintah yang disebut-sebut
sebagai salah satu program bagi pemberdayaan perempuan yang berbasis jender?
Kemunculan
kegiatan UPPKS di masyarakat didasarkan pada keinginan pemerintah untuk
menghapuskan kemiskinan. Selanjutnya pemerintah mengembangkan Program Keluarga
Sejahtera (Prokesra). Keberadaan program tersebut bertolak dari dasar pemikiran
bahwa keluarga tertinggal adalah keluarga yang dalam proses pemberdayaan yang selama
ini belum atau tidak mempergunakan kesempatan yang ada. Mereka tidak harus
merupakan keluarga yang anggotanya malas atau menganggur, tetapi boleh jadi
mereka mempunyai kegiatan sosial ekonomi dengan penghasilan yang amat kecil
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok hidup diri dan keluarganya.
Program
pembangunan keluarga sejahtera merupakan kelanjutan dari upaya Pemerintah dalam
membangun keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera yang dimulai sekitar tahun
1970. Keberhasilan keluarga ber-KB dilanjutkan dengan membantu memberdayakan
mereka (perempuan, sebab KB identik dengan perempuan) dalam berbagai bidang,
seperti dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan perekonomian. Semula kelompok
ini hanya diperuntukkan bagi keluarga akseptor dengan nama Usaha Peningkatan
Pendapatan Akseptor (UPPKA). Namun, dalam perkembangan selanjutnya keluarga
yang bukan peserta KB ingin bergabung, kelompok tersebut diubah menjadi Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS).
Dengan
demikian anggota kelompok UPPKS terdiri atas peserta KB dan keluarga lain yang
belum tentu ber-KB. Berdasarkan tingkat kesejahteraan keluarga masing-masing
anggota dalam kelompok ini tidak harus terdiri atas keluarga-keluarga yang
mampu, tetapi juga mencakup keluarga yang masih tergolong dalam taraf
prasejahtera dan sejahtera 1 sebagai prioritas keanggotaan dalam kelompok
tersebut. Dengan adanya keragaman strata keluarga dalam kelompok UPPKS
diharapkan dapat menjadi wadah kemitraan antara keluarga usahawan maju dan
belum maju sehingga tercipta hubungan yang saling menguntungkan.
Pembangunan
keluarga sejahtera ditujukan kepada peningkatan kualitas keluarga yang
bercirikan pada kemandirian dan ketahanan keluarga yang tinggi sehingga
kegiatan program lebih diarahkan pada sikap mental positif dan fungsi ekonomi
keluarga. Setiap keluarga diusahakan menjadi unit usaha ekonomi mandiri.
Pengembangan potensi keluarga terutama dilakukan dengan memberikan kemampuan
kepada anggota keluarga yang dianggap paling “lemah” dan memiliki potensi yang
belum dikembangkan secara optimal, yaitu ibu rumah tangga atau isteri.
Yang Utama:
Kemandirian Ekonomi Perempuan
Perlu
segerakah mengupayakan kemandirian ekonomi bagi perempuan? Sangat perlu.
Penjelasan ini bisa dimulai dengan melihat realitas di masyarat pada pembagian
kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan. Adanya segregasi kerja
itulah yang kemudian memunculkan persepsi bahwa pekerjaan dalam rumah urusan
perempuandan pekerjaan di luar menjadi tanggugjawab laki-laki. Padahal tidak
demikian seharusnya. Pembagian kerja secara seksual semacam inilah yang
kemudian banyak memunculkan persoalan dan ketidakadilan pada diri perempuan.
Diantara bentuk ketidakadilan tersebut adanya upaya pemiskinan ekonomi terhadap
perempuan yang pada gilirannya dapat membuat perempuan tergantung secara
psikologis. Bilamana ketidakadilan tersebut terus diajarkan dan diterapkan
dalam diri laki-laki dan perempuan secara wajar dan terus menerus maka, secara
perlahan akan menjadi suatu kebiasaan. Jika ketimpangan pembedaan kerja sudah
terbiasa dilakukan dapat mengakibatkan ketidakadilan pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan, ini kemudian akan dirasakan sebagai sesuatu yang tidak
salah.
Menurut Aida
(2000), masih terus berlangsungnya praktik pembedaan secara jender baik dalam
pendidikan dan status kesehatan, akses memilih pekerjaan yang diminati yang
mana berati diskriminasi perlakuan terhadap input pembangunan, serta adanya
kesenjangan akses ke infrastruktur merupakan dasar yang memperkuat alasan
mengapa kebijaksanaan pengentasan kemiskinan sebaiknya difokuskan kepada
perempuan, untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat, lebih khusus untuk
menumbuhkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi pada perempuan.
Proses pemiskinan pada perempuan secara tidak langsung ataupun secara nyata
akan berdampak pada keluarga dan lingkungannya. Diantara dampak kemiskinan pada
perempuan adalah akan terjadinya kelangkaan sumberdaya dan kesulitan pangan
dalam rumahtangga. Berawal dari sinilah munculnya status gizi yang rendah dan
pendidikan keluarga miskin. Bila situasi ini banyak terjadi di masyarakat maka,
secara sistematis akan menghasilkan lebih banyak anak yang meninggal, gizi
buruk, busung lapar, serta rendahnya tingkat pendidikan. Demikian keprihatinan
terhadap pelayanan kesehatan dan kesejahteraan pada perempuan akan berimplikasi
kepada kesehatan anak-anak, ini mengingat akan peran reproduksi dan pengasuhan
yang dikebanyakan masyarakat masih dilakukan oleh ibu rumahtangga dan ibu
keluarga.
Menurut Aida (2000) keberhasilan pemberdayaan perempuan yang diupayakan melalui
peningkatan peran perempuan akan berhasil secar maksimal bilamana
perempuan mempunyai motivasi yang kuat untuk memberdayakan dirinya, baik untuk
kepentingan pribadi maupun keluarga. Hal lain (kedua), dirancangnya
program-program tepatguna dan berdaya guna yang memiliki nilai tambah ekonomi
bagi pemberdayaan perempuan. Hal ketiga, adanya dukungan berdedikasi dari
seluruh kreator (aparat) terlibat. Maksudnya, keterlibatan perempuan perlu
dibuat secara spesifik menurut pangsa khalayak sasaran dan status tingkat
ekonomi. Dan hal ke empat, adanya peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat
tanpa terkecuali.
Selanjutnya, dalam mewujudkan kemandian ekonomi bagi perempuan perlu diciptakan
situasi yang berpihak pada perempuan yaitu, pertama, membuat program
pemberdayaan perempuan yang memenuhi kebutuhan praktis jender (practical
needs) yakni dengan cara meningkatkan partisipasi dan kualitas hidup
perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, hukum,
polotik, sosial budaya, dan bidang pembangunan lainnya yang sekiranya dapat
meningkatkan kualitas dan mutu hidup perempuan. Hal ke dua, menyusun
program pemberdayaan perempuan yang dapat memenuhi kebutuhan strategis jender (strategical
needs) dengan cara menciptakan dan mengimplementasikan kesetaraan dan
keadilan jender diseluruh bidang kehidupan tanpa adanya pengecualian. Hal ke
tiga, membuat kebijakan dan program gender mainstreaming dalam kegiatan
pembangunan sembari dapat memastikan bahwa keseluruhan proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan, program, dan proyek
pembangunan dimana pun (pusat atau daerah) memiliki sensitivitas jender. Hal ke
empat, membuat kebijakan dan program untuk mensosialisasikan jender, secara
sistematis, terstruktur, terintegrasi, dengan seluruh program kebijakan yang
dibuat pemerintah. Dan hal ke lima, meningkatkan peran perempuan dalam
bidang ekonomi dan ketenagakerjaan. Ini dilakukan dengan cara melibatkan secara
aktif perempuan dalam menyusun kebijakan atau program yang dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan di lapangan, hingga monitoring dan evaluasi. Serta hal
ke enam, tejadinya peningkatan penghasilan perempuan dan keluarganya,
yang dibarengi dengan peningkatan kualitas dan profesionalisme kerja perempuan.
Oleh karena itu perlu terus diupayakan partisipasi perempuan dan peningkatan
kualitas setiap angkatan kerja perempuan dalam sektor publik, dan
mensosilisasikan pada perempuan bidang-bidang ekonomi dimana perempuan dapat berpartisipasi.
Ini dimaksudkan agar perempuan tidak terjebak untuk berpartisipasi hanya pada
bidang-bidang yang memarjinalkan dirinya.
Dalam menciptakan dan menyusun seluruh program di atas perlu dibarengi oleh
advokasi yang terstruktur, sistematis, sinergis dan terencana dengan baik.
Dengan demikian, advokasi dan sosialisasi jender bisa dimulai dari tingkat
perencana dan pengambil kebijakan –kedua bagian tersebut merupakan posisi
strategis— dengan cara memberikan wawasan dan sensitivitas jender pada mereka,
serta melakukan affirmative action bagi perempuan untuk terlibat dalam
posisi-posisi yang strategis.
oleh: Oleh Rini L. Prihatini*)
*) Disampaikan dalam Forum Diskusi Dosen Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Jkt
DAFTAR BACAAN
Aida Milasari, 2005, Jurnal Perempuan, No. 39,
Jakarta:Yayasan Jurnal Perempuan.
Djamal, Chamsiah, 1996. Membantu
suami, mengurus rumah tangga: Perempuan di sektor Informal dalam
Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Joice Katerina Ongge, 2001, Tesis: Analisis
Curahan Kerja Wanita dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani
di Kabupaten Jayawijaya-Irian Jaya, Bogor, Program Pascasarjana IPB.
K.H Husein Muhammad, 2001, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: Penerbit
LKis.
Mosse, Julia Cleves,
1996. Gender dan Pembangunan (Terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ryadi Gunawan. Fauzie
Rizal, dkk (ed), 1993, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Kumpulan
tulisan hasil seminar. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Surtiyah, Ken, 1990, Perempuan,
Kerja, dan Rumah Tangga. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Vitayala, Aida, 2000,
Makalah Trainning Sensitivitas Jender: Realitas Jender Dalam Sosial Budaya
dan Pembangunan, Penyelenggara PSW.
0 komentar:
Posting Komentar